Kamis, 13 September 2012

"Ayah kami sudah tua." (part 1)


- Otobiografi mini ini ditulis oleh Edi Mulyana, om gue. Gue cuma merampungkan dan menyusun ulang tulisannya agar lebih rapi dan maksimal. Om Edi sendiri menulis tulisan ini sebagai kado ulang tahun spesial untuk ayah tercintanya ketika memasuki usia 75 tahun. Buat kalian yang selama ini acuh terhadap sosok orangtua, terutama sosok seorang ayah, selamat membaca .... 


Tidak banyak orang yang mampu mencapai usia 75 tahun!

            Angka harapan hidup di Indonesia untuk seorang laki-laki adalah 63 tahun, sedangkan untuk perempuan adalah 64 tahun. Umat Islam umumnya menjadikan usia Nabi wafat pada 63 tahun sebagai standar batas. Banyak orang yang meninggal lebih muda seperti Nabi Isa pada usia 20-an tahun, Iskandar Zulkarnain (Alexander The Great) pada usia 30-an tahun, dan para tokoh besar lainnya.
            Lazim orang yang membuat biografi atau otobiografi pada usia 70 tahun. Anggapannya adalah itu usia yang tepat untuk melihat perjalanan panjang hidup di dunia, serta kemungkinan hanya tersisa sedikit waktu lagi untuk hidup. Itupun tidak banyak lagi hal-hal yang dapat diperbuat, tidak banyak lagi yang bisa dicatat, dari aktivitas seseorang yang berada di batas usia 70 tahun.
            Tulisan ini adalah gambaran singkat sekilas (overview) tentang sosok seorang ayah kami dari mata saya, anaknya, sebagai ganti kehadiran diri kami di saat usia ayah sudah mencapai ambang batas senja, 75 tahun. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan kata karena disusun dengan spontan sepenuh perasaan. 

Istri dan Anak Ayah.

            Ayah punya satu istri. Tepatnya satu istri pada periode 1959-2009 dan satu istri lagi pada periode 2011 hingga kini. Jadi totalnya memang kini menjadi dua, tetapi di periode waktu yang berbeda.
            Ayah menikah dan hidup bersama dengan ibu selama 50 tahun. Mereka sudah layak mendapat predikat “perkawinan emas”. Mereka berpisah ketika maut memisahkan. Ibu meninggal terlebih dahulu dalam usia 65 tahun pada saat ayah berusia 72 tahun. Jadi, ketika syukuran berlangsung, sudah hampir 3 tahun ibu meninggalkan kita semua.
            Ayah menikah lagi setelah ibu kami meninggal pada 2009. Banyak pertimbangan mengapa ayah melakukannya, selain soal jodoh. Menikah sebenarnya tidak mudah, apakah itu dilakukan ketika masih sama-sama muda apalagi ketika mereka sudah sama-sama tua. Apapun itu mudah-mudahan membawa kebaikan khususnya bagi mereka berdua dan umumnya bagi seluruh keluarga besar ayah. 

Ayah punya banyak anak.

            Ada anak kandung, ada anak ponakan, ada anak buah dan yang paling banyak adalah anak didik. Anak kandung atau anak biologis ayah sebenarnya ada 6 orang. Tiga orang sudah tiada menghadap Tuhan yang Maha Kuasa. Sedangkan tiga orang lagi masih hidup di dunia termasuk saya. Yang sudah meninggal adalah Rahmad Thamrin (1965), Sofi Thamrin (1966), dan Ina Safitri Thamrin (1970-2004). Yang masih hidup adalah Edi Mulyana Thamrin, Idris Satria Thamrin, dan Doni Mustari Thamrin.
            Menantu ayah ada 4, yaitu Sumiadi Amin (suami Ina) yang sudah meninggal tahun 2000 lalu akibat tindak kekerasan konflik di Aceh, lalu Henni Susanti (istri Edi) satu-satunya menantu Ayah orang non Aceh, kemudian Rahmi (istri Idris) anak Aceh yang dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta, dan Yulia (istri Doni) yang memang asli anak Aceh. Dari 4 orang anak ayah ini, baru lahir 3 orang cucu, yaitu Alifa Humaira dan Aulia Nugraha, anak Almarhumah Ina dengan Almarhum Sumiadi. Aulia sudah meninggal dalam usia 4 tahun kala terjadi peristiwa tsunami. Satu lagi cucu ayah adalah Fatih, anaknya Doni dan Yulia yang kini sudah sekolah pre-school di Australia mengikuti Doni yang sedang bekerja disana. Edi dan Idris belum punya anak. Alifa kini tinggal dengan Edi dan istri di Jakarta.
            Setelah ayah menikah lagi tentu kini mendapat anak bawaan dari ibu kami yang baru. Kebetulan jumlahnya ada tiga pula. Yaitu Eliana, Suherna, dan Suhatman. Mereka semua sudah berkeluarga dan memiliki beberapa orang anak pula. Semua mereka kini tinggal di Banda Aceh. Jadi keseluruhan anak ayah yang masih hidup kini ada 6 orang. Mudah-mudahan ini menambah warna baru dalam hidup ayah.
            Ayah banyak memiliki anak ponakan. Baik dari sebelah keluarga ayah maupun dari pihak keluarga ibu. Beberapa anak ponakan itu dan beberapa adik sepupu sudah jatuh seperti anak sendiri atau paling tidak anak angkat atau anak asuh oleh ayah. Karena memang mereka pernah tinggal di rumah ayah dan ibu selama beberapa tahun. Diantaranya adalah T.Syahpari, Bustami Abdi, Musdialman, Naswati Dharma, T.Rusli, Nurhadi dan yang lainnya. Beberapa tidak tinggal dirumah, namun sering datang kerumah mengunjungi ayah, seperti Taharuddin, Asnanfizal, Mawardi dan masih banyak yang lainnya.
            Beberapa dari anak ponakan ayah ini ada yang kemudian menjadi anak buah. Utamanya karena ayah memfasilitasi mereka untuk bekerja sebagai PNS di lingkungan tempatnya bekerja. Khususnya di Perpustakaan. Kebijakan mempekerjakan pegawai dari kalangan keluarga dekat atau sudah dikenal ini merupakan suatu kebiasaan atau adat istiadat di kalangan masyarakat Aceh umumnya, untuk menolong anggota keluarga dekat terlebih dahulu baru kemudian orang lain. Yahwa Said Idrus banyak menolak orang, juga Om Chairuddin Zakas dan lain-lain. Ketika orang lain sudah berlaku demikian maka tidak salah pula ayah melakukan itu. Apalagi ia menjalankan seluruh prosedur formal. Lebih dari itu, seluruh anak buah atau pegawainya diharuskan oleh beliau untuk melanjutkan pendidikan formal disamping dididiknya secara langsung dengan contoh di kantor dan pekerjaan.
Terus terang belum tentu kami generasi berikutnya di abad ke-21 millenium ini mampu melakukannya. Yang paling penting adalah bagi anggota keluarga yang sudah ditolong ini selalu menjaga dan mengembangkan dirinya untuk mampu menjadi lebih baik, untuk tidak memalukan mereka yang pernah menolongnya dulu.
Yang jauh lebih banyak adalah anak didik dan anak sosiologis. Karena ayah sudah mengajar sejak awal 1950-an di berbagai sekolah menengah di Aceh dan meningkat menjadi Dosen di berbagai perguruan tinggi sejak awal 1980-an maka sudah tak terbayangkan lagi jumlah anak didiknya. Jangan lupa Nabi pernah mengatakan bahwa yang akan kita bawa ke alam akhirat kelak adalah “anak yang shaleh, ilmu yang bermanfaat dan sedekah jariyah.” Ayah sudah memberikan berbagai ilmu yang bermanfaat kepada anak-anak didiknya agar menjadi shaleh dan menularkannya lagi kepada generasi berikutnya sehingga harapan beliau ilmu itu dapat menjadi sedekah jariyah yang tiada habisnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar