- Otobiografi mini ini ditulis oleh Edi Mulyana, om gue. Gue cuma merampungkan dan menyusun ulang tulisannya agar lebih rapi dan maksimal. Om Edi sendiri menulis tulisan ini sebagai kado ulang tahun spesial untuk ayah tercintanya ketika memasuki usia 75 tahun. Buat kalian yang selama ini acuh terhadap sosok orangtua, terutama sosok seorang ayah, selamat membaca ....
Tidak banyak orang yang mampu
mencapai usia 75 tahun!
Angka
harapan hidup di Indonesia untuk seorang laki-laki adalah 63 tahun, sedangkan
untuk perempuan adalah 64 tahun. Umat Islam umumnya menjadikan usia Nabi wafat
pada 63 tahun sebagai standar batas. Banyak orang yang meninggal lebih muda
seperti Nabi Isa pada usia 20-an tahun, Iskandar Zulkarnain (Alexander The
Great) pada usia 30-an tahun, dan para tokoh besar lainnya.
Lazim orang
yang membuat biografi atau otobiografi pada usia 70 tahun. Anggapannya adalah
itu usia yang tepat untuk melihat perjalanan panjang hidup di dunia, serta
kemungkinan hanya tersisa sedikit waktu lagi untuk hidup. Itupun tidak banyak
lagi hal-hal yang dapat diperbuat, tidak banyak lagi yang bisa dicatat, dari
aktivitas seseorang yang berada di batas usia 70 tahun.
Tulisan ini
adalah gambaran singkat sekilas (overview) tentang sosok seorang ayah kami dari
mata saya, anaknya, sebagai ganti kehadiran diri kami di saat usia ayah sudah
mencapai ambang batas senja, 75 tahun. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam
penulisan kata karena disusun dengan spontan sepenuh perasaan.
Istri dan Anak Ayah.
Ayah punya
satu istri. Tepatnya satu istri pada periode 1959-2009 dan satu istri lagi pada
periode 2011 hingga kini. Jadi totalnya memang kini menjadi dua, tetapi di
periode waktu yang berbeda.
Ayah menikah
dan hidup bersama dengan ibu selama 50 tahun. Mereka sudah layak mendapat
predikat “perkawinan emas”. Mereka berpisah ketika maut memisahkan. Ibu
meninggal terlebih dahulu dalam usia 65 tahun pada saat ayah berusia 72 tahun.
Jadi, ketika syukuran berlangsung, sudah hampir 3 tahun ibu meninggalkan kita
semua.
Ayah menikah
lagi setelah ibu kami meninggal pada 2009. Banyak pertimbangan mengapa ayah
melakukannya, selain soal jodoh. Menikah sebenarnya tidak mudah, apakah itu
dilakukan ketika masih sama-sama muda apalagi ketika mereka sudah sama-sama
tua. Apapun itu mudah-mudahan membawa kebaikan khususnya bagi mereka berdua dan
umumnya bagi seluruh keluarga besar ayah.
Ayah punya banyak anak.
Ada anak
kandung, ada anak ponakan, ada anak buah dan yang paling banyak adalah anak
didik. Anak kandung atau anak biologis ayah sebenarnya ada 6 orang. Tiga orang
sudah tiada menghadap Tuhan yang Maha Kuasa. Sedangkan tiga orang lagi masih
hidup di dunia termasuk saya. Yang sudah meninggal adalah Rahmad Thamrin
(1965), Sofi Thamrin (1966), dan Ina Safitri Thamrin (1970-2004). Yang masih
hidup adalah Edi Mulyana Thamrin, Idris Satria Thamrin, dan Doni Mustari Thamrin.
Menantu ayah
ada 4, yaitu Sumiadi Amin (suami Ina) yang sudah meninggal tahun 2000 lalu
akibat tindak kekerasan konflik di Aceh, lalu Henni Susanti (istri Edi)
satu-satunya menantu Ayah orang non Aceh, kemudian Rahmi (istri Idris) anak
Aceh yang dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta, dan Yulia (istri Doni) yang
memang asli anak Aceh. Dari 4 orang anak ayah ini, baru lahir 3 orang cucu,
yaitu Alifa Humaira dan Aulia Nugraha, anak Almarhumah Ina dengan Almarhum
Sumiadi. Aulia sudah meninggal dalam usia 4 tahun kala terjadi peristiwa
tsunami. Satu lagi cucu ayah adalah Fatih, anaknya Doni dan Yulia yang kini
sudah sekolah pre-school di Australia mengikuti Doni yang sedang bekerja
disana. Edi dan Idris belum punya anak. Alifa kini tinggal dengan Edi dan istri
di Jakarta.
Setelah ayah
menikah lagi tentu kini mendapat anak bawaan dari ibu kami yang baru. Kebetulan
jumlahnya ada tiga pula. Yaitu Eliana, Suherna, dan Suhatman. Mereka semua
sudah berkeluarga dan memiliki beberapa orang anak pula. Semua mereka kini
tinggal di Banda Aceh. Jadi keseluruhan anak ayah yang masih hidup kini ada 6
orang. Mudah-mudahan ini menambah warna baru dalam hidup ayah.
Ayah banyak
memiliki anak ponakan. Baik dari sebelah keluarga ayah maupun dari pihak
keluarga ibu. Beberapa anak ponakan itu dan beberapa adik sepupu sudah jatuh
seperti anak sendiri atau paling tidak anak angkat atau anak asuh oleh ayah.
Karena memang mereka pernah tinggal di rumah ayah dan ibu selama beberapa
tahun. Diantaranya adalah T.Syahpari, Bustami Abdi, Musdialman, Naswati Dharma,
T.Rusli, Nurhadi dan yang lainnya. Beberapa tidak tinggal dirumah, namun sering
datang kerumah mengunjungi ayah, seperti Taharuddin, Asnanfizal, Mawardi dan
masih banyak yang lainnya.
Beberapa
dari anak ponakan ayah ini ada yang kemudian menjadi anak buah. Utamanya karena
ayah memfasilitasi mereka untuk bekerja sebagai PNS di lingkungan tempatnya
bekerja. Khususnya di Perpustakaan. Kebijakan mempekerjakan pegawai dari
kalangan keluarga dekat atau sudah dikenal ini merupakan suatu kebiasaan atau
adat istiadat di kalangan masyarakat Aceh umumnya, untuk menolong anggota
keluarga dekat terlebih dahulu baru kemudian orang lain. Yahwa Said Idrus
banyak menolak orang, juga Om Chairuddin Zakas dan lain-lain. Ketika orang lain
sudah berlaku demikian maka tidak salah pula ayah melakukan itu. Apalagi ia
menjalankan seluruh prosedur formal. Lebih dari itu, seluruh anak buah atau pegawainya
diharuskan oleh beliau untuk melanjutkan pendidikan formal disamping dididiknya
secara langsung dengan contoh di kantor dan pekerjaan.
Terus terang belum tentu kami
generasi berikutnya di abad ke-21 millenium ini mampu melakukannya. Yang paling
penting adalah bagi anggota keluarga yang sudah ditolong ini selalu menjaga dan
mengembangkan dirinya untuk mampu menjadi lebih baik, untuk tidak memalukan
mereka yang pernah menolongnya dulu.
Yang jauh lebih banyak adalah anak
didik dan anak sosiologis. Karena ayah sudah mengajar sejak awal 1950-an di
berbagai sekolah menengah di Aceh dan meningkat menjadi Dosen di berbagai
perguruan tinggi sejak awal 1980-an maka sudah tak terbayangkan lagi jumlah
anak didiknya. Jangan lupa Nabi pernah mengatakan bahwa yang akan kita bawa ke
alam akhirat kelak adalah “anak yang shaleh, ilmu yang bermanfaat dan sedekah
jariyah.” Ayah sudah memberikan berbagai ilmu yang bermanfaat kepada anak-anak
didiknya agar menjadi shaleh dan menularkannya lagi kepada generasi berikutnya
sehingga harapan beliau ilmu itu dapat menjadi sedekah jariyah yang tiada
habisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar